Catatan Redaksi: Artikel ini merupakan saduran dari tulisan asli I Wayan Sugitha. Nama penulis dipertahankan sebagaimana adanya.
( Oleh : I Wayan Sugitha )
Tragedi Al-Khoziny atau Ambruknya bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, jadi pelajaran pahit. Para santri yang seharusnya belajar justru harus menanggung luka, bahkan kehilangan nyawa.
Sebuah bangunan empat lantai di pesantren Al-Khoziny ambruk, Senin (29/9/2025) sore. Ratusan santri yang salat Ashar berjemaah dilantai satu, tertimpa reruntuhan.
Evakuasi Al-Khoziny Tuntas. Total korban wafat 67 orang.
Pristiwa ini tidak hanya tragedi lokal, tapi juga pukulan keras bagi wajah pendidikan pesantren di Indonesia.
Ini bukan pristiwa pertama. Mengacu dokumen Kompas beberapa tahun belakangan, tercatat beberapa kali atap sekolah atau pesantren ambruk disejumlah daerah meski hanya dengan korban luka. Semua pemangku kepentingan dituntut untuk menggelar evaluasi menyeluruh.
Pristiwa ini menohok kesadaran kita. Mengapa. Pesantren, yang mesti menjadi rumah aman dan nyaman bagi para santri, justru bisa berubah jadi ancaman mematikan?
Pertanyaan ini mendesak dijawab, bukan untuk mencari kambing hitam, melainkan sebagai refleksi kolektif agar tragedi serupa tidak terus berulang.
Sejak awal, pesantren tumbuh dari budaya swadaya, ada semangat kiai, ada tanah wakaf, lalu berdirilah pondok.
Santri ikut membangun, masyarakat menyumbang, alumni patungan, dan tahap demi setahap gedung berdiri.
Model ini melahirkan ribuan pesantren di plosok Nusantara tanpa harus menunggu intervensi pemerintah. Inilah kekuatan pesantren yang oleh Gus Dur sebagai lembaga pendidikan yang memiliki ” kemandirian “.
Namun, tanpa disadari dalam kemandirian itu pula terkandung kerentanan. Banyak bangunan pesantren berdiri tanpa rencana teknis yang jelas, tanpa desain arsitektur yang penuhi standar keamanan, bahkan sering tanpa keterlibatan Insinyur atau pengawas konstruksi.
Hasilnya, bangunan bisa selesai, namun kualitasnya rapuh. Dan, dibanyak tempat, kita masih menemui adanya bangunan asrama yang dibangun seadanya, ruang kelas sempit tanpa ventilasi memadai, bahkan instalasi listrik yang tidak aman.
Tradisi Roan
Yaitu keterlibatan santri dalam pekerjaan fisik, mulai dari membersihkan lingkungan hingga ikut mendirikan bangunan, juga menimpan kendala.
Disatu sisi, roan adalah sarana pendidikan karakter, melatih kebersamaan, tanggung jawab dan jiwa gotong royong.
Tetapi jika roan diterapkan untuk pembangunan fisik yang mestinya butuh tenaga profesional, disitulah munculnya problem. Santri yang tidak terlatih kerap diminta membantu mengangkut material, mencampur semen, bahkan ada yang ikut memasang bata.
Hasil kerja memang terasa akar pohon ” tulus ikhlas “, namun keselamatan aman dan ketahanan menjadi masalah berikut yang muncul.
Kita jarang bertanya, seakan yakin niat baik untuk menegakkan tembok. Padahal, keselamatan tidak lahir dari keikhlasan semata, tapi dari keahlian dan disiplin standar.
Tragedi di Al-Khoziny menyadarkan kita bahwa romantisme gotong royong tidak boleh lagi mengorbankan nyawa santri.
Emang kenyataan pesantren sering dibangun dengan spirit ” iman dan ikhlas “. Sumbangan dari masyarakat, tenaga santri, restu kiai menjadi fondasi utama.
Tetapi harus diakui dan disadari, iman tidak cukup untuk membuat bangunan kokoh. Pelajaran dari akar pohon, tulus ikhlas tidak bisa menggantikan analisis struktur.
Serta, doa sebagai alat komunikasi paling hebat memang bisa buat tenang, tapi tidak bisa gantikan fungsi besi bertulang yang dipasang sesuai hitungan insinyur.
Tragedi Al-Khoziny adalah alarm keras bahwa pendekatan lama sudah harus di tinggalkan dan tidak dapat dipertahankan.
Pesantren tidak bisa lagi bersembunyi dibalik kalimat ” ini tradisi pesantren ” semua dijalankan dengan prinsip keikhlasan “. Karena tradisi yang sudah tidak relevan harus diganti dengan kebaruan yang memiliki maslahat lebih besar.
Keselamatan santri harus jadi hukum tertinggi dan ditempatkan sebagai prioritas mutlak, bukan sekedar urusan tambahan.
Waktunya berbenah
Dalam tradisi pesantren, kita selalu percaya bahwa semua ada hikmahnya. Oleh karena itu, musibah yang terjadi di Pesantren Al – Khaziny, Sidoarjo, harus menjadi pelajaran bagi pesantren di Indonesia. Menjadikan itu sebagai hikmah untuk berbenah.
Kemudian pesantren harus tegas untuk menghentikan tradisi roan dalam pembangunan fisik. Tetap dipertahankan dalam konteks kebersihan, penghijauan dan kegiatan sosial lain.
Berikutnya membuka diri pada profesionalitas. Terakhir peran alumni dan masyarakat.
Dibalik reruntuhan Al-Khoziny, ada panggilan untuk membangun kembali, bukan hanya gedung, melainkan kesadaran kita semua.
Agar kelak santri bisa belajar tanpa rasa takut, was-was, orang tua sebagai guru rupaka bisa menitipkan anaknya tanpa cemas, dan pesantren tetap dicari sebagai rumah ilmu yang kokoh.
Sebagai lantera sejati untuk meraih kemuliaan hidup. ( Kompas, 2- 10 – 2025, Kompas, 7 – 10 – 2025, Jawa Pos, 8 – 10 – 2025 )
Selamat beraktifitas, salam sehat, rahayu untuk anda dan kita semua.